hainews.co.id, Bandung, 20 September 2025 – Dalam gemuruh suara pameran dagang yang padat, hanya sedikit yang berhasil mengalihkan perhatian dan memunculkan diskusi substansial. Namun, di panggung Indonesia Apparel Production Expo 2025, Diar Noorsti’ar, CEO Silkana Fabrics, melakukannya dengan mudah. Kehadirannya bukan hanya mewakili sebuah merek kain, melainkan sebuah visi kepemimpinan yang jernih dan berani. Dalam sesi diskusi bertajuk “Halal Bukan Pilihan, Tapi Kewajiban, Apakah Industri Kita Siap?”, Diar tak hanya menjawab pertanyaan, ia justru merumuskan ulang tantangan menjadi sebuah peluang global: “Halal bukan beban. Halal adalah strategi”
Sebagai pemimpin Silkana Fabrics, sebuah merek yang telah memposisikan diri sebagai spesialis kain abaya, busana yang identik dengan kesyar’ian dan fungsionalitas. Diar memiliki perspektif yang unik. Ia memahami betul bahwa regulasi wajib sertifikasi halal yang akan berlaku pada 2026 adalah sebuah perubahan fundamental, bukan sekadar tambahan aturan. Kebijakan ini mewajibkan seluruh produk barang gunaan, termasuk tekstil dan fesyen, untuk terjamin integritasnya dari hulu ke hilir.
Pernyataan ini bukan retorika kosong. Diar memaparkan, ia melihat regulasi wajib sertifikasi halal yang akan berlaku pada 2026 sebagai titik balik. Kebijakan ini memaksa seluruh pelaku industri fesyen untuk meninjau ulang setiap tahapan produksi, mulai dari bahan baku hingga produk akhir. Bagi Diar, ini adalah momentum untuk bergerak dari status quo, dari sekadar menjadi produsen, menjadi pemimpin pasar.
Diar Noorsti’ar tidak menampik kompleksitas yang dihadapi. Ia menguraikan dengan detail betapa rumitnya memverifikasi ribuan bahan baku yang mayoritas masih diimpor. “Kita bicara ribuan item bahan kimia. Dari pewarna, finishing agent, sampai chemical kecil seperti antistatic,” ungkapnya. “Tidak semua pemasok asing mampu menyediakan dokumen halal atau keterlacakan penuh. Ini yang sering membuat industri merasa berat.”
Ia mencontohkan, proses finishing kain, seperti pelembut (softening) atau pelapis anti air (water-repellent), sering melibatkan aditif yang berbasis turunan lemak atau minyak, dan status kehalalannya belum tentu terjamin. “Kalau salah pilih, kain bisa gagal sertifikasi. Padahal finishing inilah yang menentukan feel dan performa kain di pasar,” jelas Diar. Namun, alih-alih melihat ini sebagai hambatan, Diar dan timnya di Silkana menganggapnya sebagai area di mana mereka bisa menunjukkan keunggulan.
Sejak awal berdiri, Silkana memang menempatkan diri sebagai spesialis kain untuk abaya, busana Muslimah yang menuntut tidak hanya keindahan estetika tetapi juga kesesuaian syar’i. Filosofi bisnis ini menjadi fondasi yang kuat. “Kalau bicara halal, jangan hanya lihat label di ujung produk. Setiap titik proses itu kritis,” ujarnya. “Kami percaya bahwa transparansi dari hulu ke hilir adalah investasi paling berharga.”
Mendidik Pasar: Tantangan dan Peluang di Kalangan Konsumen
Diar juga menyoroti tantangan lain yang tak kalah penting: pemahaman pasar Muslim sendiri tentang fesyen halal. Menurutnya, saat ini, sebagian besar konsumen Muslim masih memprioritaskan “busana Muslimah” dari sisi estetika, seperti model yang sopan atau menutup aurat. Namun, kesadaran tentang status kehalalan bahan baku dan proses produksi dari benang, pewarna, hingga aditif masih belum masif.
“Banyak konsumen mengira, ‘asal busananya tertutup, itu sudah cukup’. Mereka belum terpapar edukasi bahwa busana halal juga mencakup proses produksi yang terjamin syar’i,” kata Diar. Ia menambahkan bahwa ini adalah tantangan sekaligus peluang. Bagi Silkana, langkah ini bukan hanya soal memproduksi kain, tetapi juga menjadi agen edukasi. Dengan memimpin inisiatif sertifikasi, mereka bisa secara proaktif mengedukasi konsumen bahwa produk mereka tidak hanya indah dan nyaman, tetapi juga sepenuhnya terjamin kehalalannya. Sertifikasi halal untuk fesyen bukan lagi sekadar inisiatif lokal. Ini adalah bagian dari gelombang global halal fashion standard yang kini semakin terstruktur. Diar menjelaskan, berbeda dengan industri makanan, standar untuk fesyen masih relatif baru dan terus berkembang. Standar ini tidak hanya mencakup bahan baku, tetapi juga proses manufaktur, mulai dari pemisahan jalur produksi untuk produk halal dan non-halal, penggunaan mesin yang bersih dari kontaminasi, hingga sanitasi pabrik. .
Diar percaya, seiring berjalannya waktu dan gencarnya sosialisasi, pemahaman konsumen akan meningkat. Perusahaan yang bergerak lebih dulu dalam sertifikasi halal akan mendapatkan keunggulan kompetitif jangka panjang. Mereka bukan hanya memenuhi regulasi, tetapi juga membangun kepercayaan dan loyalitas konsumen yang kian cerdas.
Menjadikan Tantangan sebagai Modal Pertumbuhan
Diar melihat regulasi ini sebagai katalis untuk mendorong industri fesyen Indonesia masuk ke dalam arena global yang lebih besar. melihat data pasar sebagai peta jalan, bukan hambatan mengutip data Laporan State of the Global Islamic Economy, yang mencatat belanja Muslim untuk fesyen mencapai US$327 miliar pada 2023 dan diproyeksikan melonjak ke US$433 miliar pada 2028. Diar memandang angka-angka ini sebagai peluang emas, bukan beban tambahan. Kepatuhan terhadap standar halal, menurutnya, bukanlah biaya, melainkan lisensi untuk bersaing di pasar dengan permintaan yang terus menanjak.
Dalam pandangan Diar, Indonesia memiliki semua modal untuk menjadi pemimpin fesyen halal global: populasi Muslim terbesar, industri tekstil yang sudah mapan, dan kreativitas desainer yang tak terbatas. Yang dibutuhkan adalah keselarasan: pemerintah yang mendukung transisi, asosiasi industri yang memfasilitasi standardisasi, lembaga sertifikasi yang kredibel, dan yang paling penting, perusahaan yang berani memimpin transformasi dari dalam.
Ia menutup sesi dengan pesan kepemimpinan yang kuat. Diar percaya bahwa keberhasilan transformasi ini sangat bergantung pada komitmen pimpinan perusahaan bukan hanya untuk pelaku industri, melainkan juga untuk para pemimpin di dalamnya. “Kalau CEO atau direksi tidak komit, sulit bagi tim teknis untuk bergerak,” tegasnya. Baginya, kepemimpinan adalah soal memberikan arah yang jelas: apakah industri hanya ingin mengikuti regulasi, atau menjadikannya sebagai strategi bisnis untuk memimpin pasar?
Silkana di bawah kepemimpinan melihat setiap tantangan sebagai kesempatan untuk memperkuat identitas merek. Diar percaya, perusahaan yang berani memimpin dalam transparansi dan sertifikasi halal akan lebih cepat mendapatkan kepercayaan pembeli internasional. “Halal bukan hanya dokumen, tapi brand value. Kalau konsumen percaya, otomatispasar terbuka lebih lebar.”
Dengan visi ini, Diar Noorsti’ar tidak hanya membangun Silkana menjadi produsen kain yang dipercaya, tetapi juga berkontribusi pada reputasi Indonesia sebagai pusat fesyen halal dunia. Ia menunjukkan bahwa dengan komitmen, keberanian, dan pandangan strategis, industri fesyen Indonesia bisa mengubah kewajiban menjadi keunggulan, dari tekad menjadi reputasi yang diakui global. Inilah saatnya Indonesia tidak hanya sebagai pasar konsumsi, melainkan sebagai pusat peradaban fesyen halal, dan Diar telah mengambil langkah signifikan untuk memimpin perjalanan itu.
Tinggalkan Balasan