hainews.co.id – Semestinya, saya kira, tidak perlu usaha keras untuk memahami Norma: Antara Mertua dan Menantu. Cerita aslinya sudah menjadi bahan gunjingan nasional sejak 2022, viral ke mana-mana, menembus grup WhatsApp keluarga, dan menjadi komoditas empuk akun gosip. Maka, ketika filmnya diumumkan, ekspektasi saya adalah drama panas yang menyentuh sisi sensasional dari tragedi itu.

Tapi ternyata saya keliru.

Oka Aurora, sang penulis naskah, mengambil pendekatan yang lebih hati-hati. Ia tidak hanya berhadapan dengan tantangan mengadaptasi skandal keluarga yang nyaris tak masuk akal, tapi juga harus menyulapnya ke dalam format film berperingkat 13+—tanpa kehilangan kedalaman cerita maupun sensitivitas publik.

Dan Oka berhasil. Ia menyajikan kisah Norma dengan narasi yang santun. Ada banyak rem yang ditarik, banyak detail yang dikurangi, dan banyak luka yang dibungkus agar tidak menjadi tontonan murahan. Ia tidak hanya sekadar menyalin aib dari kisah nyata, tapi membentuk ulang skandal itu menjadi drama dengan alur dan muatan emosional yang utuh.

Hanya beberapa elemen dari cerita aslinya yang dipertahankan: momen foto pernikahan yang jadi titik balik, hubungan terlarang antara mertua dan menantu di warung mie ayam, hingga klimaks penggerebekan yang mencengangkan.

Namun tetap saja, saya tak bisa menghindari perbandingan dengan karya Oka sebelumnya yang lebih dulu fenomenal: Ipar Adalah Maut. Dari segi struktur, tone, hingga penyelesaian konfliknya, keduanya memiliki pola yang serupa—bahkan ketika digarap oleh tim produksi dan sutradara yang berbeda.

Sayangnya, Norma belum bisa mengungguli Ipar Adalah Maut. Bukan karena naskahnya buruk, justru karena Norma ingin memberi lebih banyak muatan reflektif dan psikologis, yang secara tidak langsung justru mengurangi thrill dan daya kejut cerita.

Oka tidak hanya menuliskan skandal. Ia mencoba memberi konteks. Ibunda Norma (diperankan memukau oleh Wulan Guritno) digambarkan sebagai sosok dengan trauma dan beban psikis. Irfan (Yusuf Mahendra) hadir bukan sebagai pria bejat semata, tapi pria muda dengan ego dan kepolosan yang nyaris absurd. Dan Norma sendiri (Tissa Biani) menjadi potret perempuan muda yang terlalu naif dalam melihat keluarga dan cinta.

Lapisan-lapisan ini membuat saya, mau tidak mau, ikut larut dalam dinamika batin para tokohnya. Bahkan saya sempat merasa iba pada karakter Ambu, meski tak urung merasa geleuh saat adegan di atas ranjang dimainkan dengan cukup bising. Di titik ini, saya tahu: Oka berhasil mengetuk emosi saya.

Namun yang membuat film ini kurang menggigit adalah arahan sutradara Guntur Soeharjanto yang terasa datar. Beberapa adegan tidak dieksekusi dengan mulus. Bahkan ada momen yang terasa janggal dan kurang logis secara emosi. Guntur seolah terlalu memberi ruang untuk naskah Oka bersinar sendiri tanpa membawa visi sinematiknya sendiri ke layar.

Untungnya, jajaran pemain tampil solid. Wulan Guritno tampil total, membawakan karakter Rina bukan sebagai tiruan sosok asli, melainkan karakter yang benar-benar hidup dari naskah. Tissa dan Yusuf juga cukup solid membangun dinamika Norma-Irfan yang canggung, menyesakkan, tapi manusiawi. Dan tentu saja, kehadiran Nunung menjadi oase di tengah drama yang berat. Ia cukup menjadi dirinya sendiri—dan itu sudah cukup menyegarkan.

Dengan Norma: Antara Mertua dan Menantu, Oka Aurora kembali membuktikan bahwa kisah rumah tangga masih sangat menjanjikan sebagai bahan cerita film. Bukan sekadar sensasi, tapi sebagai cerminan sosial dan pemicu diskusi. Harapannya, tema seperti ini terus digarap dengan kualitas naskah yang kuat, agar film Indonesia tidak terus-terusan disesaki horor generik, cinta-cintaan remaja, atau waralaba yang itu-itu saja.

Dan saya ingin menutup tulisan ini seperti saya menutup ulasan Ipar Adalah Maut:
Selama naskahnya ditulis dengan niat dan empati, cerita rumah tangga masih akan jadi magnet kuat di bioskop—terutama bagi para penonton yang tak hanya ingin digibah, tapi juga diajak berpikir.