Menguak Misteri Rawa Bangke: Seram, Ngeri, dan Angker di Jatinegara, Jakarta Timur

Rawa Bangke Misteri: Ngeri, dan Angker di Jatinegara
Ilustrasi. Rawa Bangke Misteri: Ngeri, dan Angker di Jatinegara (foto canva)

hainews.co.id – Mendengar nama “Rawa Bangke” di Jatinegara, Jakarta Timur, pikiran kita mungkin langsung dibayangi oleh kesan seram, ngeri, dan angker. Nama ini memang membawa cerita kelam yang telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda. Namun, untuk menghilangkan stigma negatif ini, kawasan tersebut kini dikenal dengan nama Rawa Bunga. Mari kita telusuri asal-usul nama Rawa Bangke dan perubahan yang telah terjadi di daerah ini.

Asal Usul Nama Rawa Bangke

Nama “Rawa Bangke” berasal dari kata “bangkai”, yang dilafalkan oleh masyarakat Betawi menjadi “bangke”. Seperti dikutip dari Lembaga Kebudayaan Betawi dan Ensiklopedia Betawi, nama ini muncul karena bau bangkai yang menyengat di area tersebut akibat pembuangan mayat para pemberontak Tionghoa pada tahun 1740. Peristiwa tragis ini terjadi di tengah kawasan rawa yang luas di utara Jatinegara, yang kala itu dikenal sebagai daerah yang tidak aman dan sering terjadi pembunuhan.

Pada masa lalu, daerah ini sering menjadi tempat pembuangan mayat korban pembunuhan dan perampokan. Bangkai-bangkai manusia yang dibiarkan membusuk di rawa menimbulkan bau yang sangat menyengat, sehingga kawasan ini kemudian dikenal sebagai Rawa Bangke.

Sejarah Kelam Rawa Bangke dan Cerita Rakyat

Haji Sanap, salah satu sesepuh di Rawa Bunga yang kini berusia 86 tahun, menceritakan berbagai kisah kelam dari daerah ini. Salah satu cerita yang sering disebut adalah tentang pembantaian etnis Tionghoa dan pembuangan mayat korban perampokan pada masa penjajahan Belanda. Para perampok yang dikenal sebagai begal sering membuang mayat korbannya di rawa untuk menghilangkan jejak.

Haji Sanap juga mengenang masa kecilnya ketika ia harus melewati rawa-rawa yang saat itu sebagian besar masih berupa hutan. Ia merasa ngeri setiap kali melintasi daerah tersebut, terutama karena kendaraan yang biasa digunakan kala itu hanyalah sepeda. Di sekitar Rawa Bangke juga terdapat pabrik es yang kini telah berubah menjadi pasar batu akik.

Perubahan Nama Rawa Bangke dan Upaya Revitalisasi

Seiring berjalannya waktu dan semakin padatnya penduduk, rawa-rawa tersebut mulai dijadikan perkampungan. Untuk menghilangkan kesan seram dari masa lalunya, kawasan ini kemudian diubah namanya menjadi Rawa Bunga. Nama baru ini diharapkan dapat membawa citra yang lebih positif dan menyenangkan.

Di sekitar Rawa Bunga, terdapat sebuah musala yang dibangun oleh Datuk Biru, yang dikenal selalu mengenakan pakaian berwarna biru. Menurut cerita rakyat, Datuk Biru adalah pengikut Pangeran Mataram yang menyerbu Batavia pada tahun 1629. Musala ini dikelilingi oleh banyak pohon sawo, menambah nuansa asri di kawasan tersebut.

Penutup

Rawa Bangke, dengan segala sejarah dan cerita rakyatnya, merupakan bagian penting dari warisan budaya Jakarta. Meskipun dulunya dikenal sebagai tempat yang seram dan angker, perubahan nama menjadi Rawa Bunga menunjukkan upaya masyarakat dan pemerintah untuk memperbaiki citra kawasan ini. Dengan demikian, Rawa Bunga kini dapat dikenang tidak hanya karena sejarah kelamnya, tetapi juga sebagai simbol transformasi dan harapan baru.