hainews.co.id – Dunia tengah bergerak menuju masa depan yang lebih hijau. Isu perubahan iklim, polusi udara, dan komitmen global terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca telah memacu negara-negara di dunia untuk mengadopsi energi terbarukan secara masif.
Namun, di tengah arus besar transisi energi ini, batu bara masih terus digunakan. Lalu, pertanyaannya, apakah batu bara masih relevan di era energi terbarukan? Mari kita lihat dari berbagai sisi.
Batu Bara Belum Tergantikan Sepenuhnya
Secara historis, batu bara adalah pilar utama dalam pembangunan industri modern. Dari pembangkit listrik hingga industri berat, batu bara telah memainkan peran besar dalam menggerakkan ekonomi.
Namun, relevansi batu bara saat ini bukan hanya karena sejarahnya, melainkan karena beberapa keunggulan praktis yang masih sulit disaingi.
Batu bara, terutama di negara berkembang, masih menjadi pilihan utama karena murah, tersedia dalam jumlah besar, dan infrastrukturnya sudah mapan.
Dalam hal kestabilan pasokan dan keandalan, batu bara tetap unggul dibanding beberapa sumber energi terbarukan yang masih bergantung pada kondisi alam, seperti matahari dan angin.
Realita Transisi Energi
Meskipun energi terbarukan terus berkembang, transisi dari bahan bakar fosil ke sumber energi bersih tidak semudah membalikkan telapak tangan. Negara-negara yang masih bertumpu pada batu bara memerlukan waktu, investasi, dan strategi yang matang untuk beralih ke sumber energi baru.
Khususnya di Indonesia, batu bara masih menyumbang lebih dari separuh pembangkit listrik nasional. Sementara itu, pemanfaatan energi terbarukan masih dalam tahap pertumbuhan. Dalam konteks ini, batu bara tetap menjadi tulang punggung ketahanan energi, setidaknya untuk beberapa tahun ke depan.
Upaya untuk Membuat Batu Bara Lebih Ramah Lingkungan
Menariknya, di tengah tekanan global untuk meninggalkan batu bara, muncul berbagai inovasi untuk menjadikan penggunaannya lebih bersih. Teknologi seperti Carbon Capture and Storage (CCS) dan co-firing dengan biomassa menjadi alternatif yang ditawarkan untuk menurunkan emisi dari pembakaran batu bara.
Beberapa negara bahkan memanfaatkan batu bara dalam bentuk yang lebih efisien, seperti coal gasification dan clean coal technology. Meski belum sepenuhnya bebas emisi, upaya-upaya ini menunjukkan bahwa batu bara belum sepenuhnya ditinggalkan.
Kepentingan Ekonomi dan Politik
Tidak bisa dipungkiri, batu bara bukan hanya soal energi, tetapi juga soal ekonomi dan geopolitik. Di Indonesia, sektor batu bara berkontribusi besar terhadap pendapatan negara, penciptaan lapangan kerja, dan ekspor.
Menghentikan batu bara secara drastis tentu akan berdampak pada stabilitas ekonomi, terutama di daerah-daerah penghasil batu bara.
Selain itu, bagi negara-negara berkembang, pengurangan ketergantungan pada batu bara sering kali terbentur pada keterbatasan dana untuk pembangunan infrastruktur energi terbarukan. Tanpa dukungan investasi dan teknologi dari negara maju, proses transisi bisa terhambat.
Tekanan Global
Meskipun saat ini batu bara masih digunakan secara luas, tekanan internasional terus meningkat. Negara-negara anggota G20, lembaga keuangan global, hingga perusahaan multinasional mulai menarik investasi dari proyek-proyek berbasis batu bara.
Bahkan beberapa negara telah menetapkan target penghentian pembangkit batu bara dalam 10–20 tahun ke depan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun batu bara masih relevan saat ini, eksistensinya di masa depan semakin terancam. Dalam jangka pendek, batu bara mungkin masih dibutuhkan. Tapi dalam jangka panjang, jelas arah masa depan energi akan beralih ke sumber yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Salah satu langkah nyata dalam mendukung transisi energi ini adalah memanfaatkan energi gas sebagai jembatan energi. Di Indonesia, PGN LNG Indonesia turut ambil bagian dalam mendukung peralihan energi menuju sumber yang lebih bersih.
Dengan infrastruktur LNG (Liquefied Natural Gas) yang terus dikembangkan, PGN LNG Indonesia menyediakan solusi energi yang lebih ramah lingkungan dibandingkan batu bara, namun tetap andal dan ekonomis. Gas alam cair ini dapat menjadi alternatif dalam sektor kelistrikan dan industri selama masa transisi, sekaligus mendukung target penurunan emisi karbon nasional.
Tinggalkan Balasan