hainews.co.id, DENPASAR – Jauh dari citra sensasionalnya sebagai ajian pemikat asmara yang kerap muncul dalam topik konsultasi spiritual online, mantra legendaris Jaran Goyang sesungguhnya menyimpan lapisan filosofi yang dalam dan adiluhung. Kearifan ini berakar kuat dalam tradisi budaya Jawa yang memandang alam semesta sebagai cerminan diri. Praktisi spiritual sekaligus pendiri Indo Spiritual Center, Agy Yudhistira, mengajak kita untuk menelusuri kembali jejak makna di balik nama yang fenomenal ini.

Menurut Agy, untuk memahami Jaran Goyang, kita harus terlebih dahulu membedah namanya. Nama ini bukanlah sekadar susunan kata tanpa arti, melainkan sebuah petunjuk kunci. “Kalau dari akar katanya sendiri, jaran itu artinya kuda, sementara goyang aslinya dari kata guyang yang berarti dimandikan. Jadi makna utuhnya adalah bagaimana kemudian kuda yang merupakan hewan liar, namun bila dimandikan atau dirawat dengan baik, bisa jadi jinak juga,” papar Agy, Rabu (15/10/2025). Dari etimologi ini, terbukalah sebuah cakrawala pemahaman yang sama sekali berbeda dari persepsi populer.

Kuda, dalam simbolisme Jawa, memegang peranan penting. Ia adalah lambang dari tenaga, nafsu, dan daya gerak kehidupan energi primordial yang ada dalam setiap manusia. Energi ini, jika dibiarkan liar, bisa menjadi destruktif. Proses “mengguyang” atau “memandikan” kuda inilah yang menjadi inti ajaran. Ini adalah metafora tentang laku, sebuah proses penyelarasan kekuatan internal melalui pengendalian diri yang penuh kesabaran dan kelembutan.

“Ini bukan tentang menaklukkan kuda secara paksa,” tekan Agy. “Ini tentang memahami karakternya, merawatnya, dan membangun hubungan yang harmonis. Begitu pula dengan diri kita sendiri. Jaran Goyang mengajarkan kita untuk ‘memandikan’ nafsu dan ego kita agar selaras dengan kehendak jiwa yang lebih luhur.”

‘Pitulungan’ dalam Sebilah Keris

Filosofi agung ini tidak hanya hidup dalam tradisi lisan, tetapi juga terwujud dalam bentuk fisik, yakni pusaka keris. Agy mengungkap bahwa Jaran Goyang juga merupakan nama dari sebuah dapur (bentuk bilah) keris yang memiliki tujuh luk atau lekukan.

“Angka tujuh dalam budaya Jawa kita maknai sebagai angka pitulungan atau pertolongan,” ungkapnya, Rabu (15/10/2025). Kehadiran keris ini dalam khazanah budaya menegaskan bahwa proses “memandikan kuda liar” tidak dapat sepenuhnya bersandar pada kekuatan manusia semata. Dibutuhkan juga keajaiban ilahiah dalam bentuk restu dan pertolongan dari Sang Kuasa. Dengan demikian, Jaran Goyang adalah pengingat tentang keseimbangan antara ikhtiar lahiriah dan batiniah.

Relevansi di Era Modern

Di tengah zaman yang menuntut segalanya serba cepat, ajaran Jaran Goyang menawarkan sebuah antitesis yang menenangkan. Ia mengingatkan akan pentingnya proses. Bahwa tidak ada hasil yang sejati tanpa laku dan pengorbanan.

“Dengan memahami filosofi ini, kita bisa paham bahwa ilmu pelet tidak bisa disamaratakan sebagai proses pemaksaan,” tegas Agy. Ia melihat adanya pergeseran makna yang berbahaya, di mana warisan luhur ini direduksi menjadi sekadar alat untuk memenuhi hasrat pribadi. Padahal, Jaran Goyang adalah ilmu tentang transformasi diri. Ia bukan tentang mengubah hati orang lain, melainkan tentang memurnikan niat, menghaluskan rasa, dan menyelaraskan energi diri sendiri agar memancarkan daya tarik yang alami.