Pengertian Idul Adha Idul Adha atau Iduladha (عيد الأضحى) adalah hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 10 Zulhijjah. Idul Adha merupakan peringatan atas peristiwa kurban Nabi Ibrahim a.s. yang hendak mengorbankan putranya, Ismail, namun kemudian Allah Swt. menggantinya dengan seekor domba.
Pada hari Idul Adha, umat Islam dianjurkan berkumpul pada pagi hari untuk melakukan Shalat Id berjamaah di tanah lapang atau di masjid, mirip dengan perayaan Idulfitri. Setelah Salat Iduladha, dilakukan penyembelihan hewan kurban sebagai amalan sunah yang paling disukai Allah Swt. pada hari tersebut.
Pusat Perayaan Idul Adha Pusat perayaan Idul Adha adalah sebuah desa kecil di Arab Saudi bernama Mina, yang terletak dekat Makkah. Di Mina, terdapat tiga tiang batu yang melambangkan Iblis dan harus dilempari batu oleh umat Muslim yang sedang menunaikan ibadah haji.
Makna Idul Adha Idul Adha adalah puncak ibadah Haji yang dilaksanakan kaum Muslim di Makkah, Arab Saudi. Terkadang, Idul Adha yang dirayakan setiap tanggal 10 Dzulhijjah ini disebut pula sebagai “Idul Kurban” atau “Lebaran Haji”.
Kata Idul Adha berasal dari kata ‘id dan ‘adha. ‘Id berakar pada kata ‘aada ya’uudu’ yang artinya “menengok”, “menjenguk”, atau “kembali”. Kata Adha bermakna ‘qurban’ (kurban). Disebut ‘Id karena hari raya ini kembali berulang setiap tahun. Di Indonesia, Id kerap disamakan artinya dengan ayyada’, yakni “berhari raya”. Dengan demikian, Idul Adha berarti kembali melakukan penyembelihan hewan kurban sehingga dikenal pula sebagai Hari Raya Qurban.
Idul Adha juga dikenal sebagai ‘Lebaran Haji’ karena di saat yang sama, umat Islam tengah menunaikan ibadah haji di Tanah Suci Mekah, Arab Saudi. Idul Adha dinamai juga “Idul Nahr” yang berarti hari raya penyembelihan, yakni menyembelih hewan kurban.
Dilansir Ihram, kata qurban atau kurban berasal dari bahasa Arab qurban dari akar kata qaraba, yaqrabu, yang berarti “pendekatan”. Berkurban berarti melakukan sesuatu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hukumnya sunah muakkad. “Rasulullah SAW memerintahkan kami dalam Idain (Idul Fitri dan Idul Adha) agar memakai pakaian terbagus yang kami miliki, memakai minyak wangi terbaik yang kami miliki, dan berqurban pada hari raya Idul Adha dengan binatang qurban termahal dari apa yang kami miliki.” (HR. Al-Hakim)
Hukum melaksanakan kurban menjadi wajib bagi orang yang mampu atau memiliki keluasan rezeki untuk berqurban di hari Idul Adha. “Sesungguhnya Kami telah memberikan nikmat yang banyak. Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu dan berqurbanlah.” (QS Al-Kautsar)
Perayaan Hari Raya Idul Adha ini diperintahkan berlangsung selama 4 hari, yakni sejak Maghrib pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) sampai hari raya ‘Id (10 Dzulhijjah), disambung 3 hari tasyrik.
Sejarah Idul Adha
Sejarah Idul Adha adalah sejarah pengorbanan Nabi Ibrahim a.s. Kisahnya berawal ketika Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah Swt. untuk menempatkan istrinya, Hajar, bersama anaknya, Ismail, yang saat itu masih menyusu. Hajar dan Ismail ditempatkan di suatu lembah yang tandus dan gersang tanpa tumbuh sebatang pohon pun. Lembah itu sunyi dan sepi, tanpa penghuni seorangpun. Nabi Ibrahim sendiri tidak tahu maksud sebenarnya dari wahyu Allah yang menyuruh menempatkan istri dan putranya yang masih bayi itu di tempat paling asing, sekitar 1600 KM dari negaranya sendiri, Palestina. Namun, baik Nabi Ibrahim maupun istrinya Siti Hajar menerima perintah itu dengan ikhlas dan penuh tawakkal.
Diceritakan oleh Ibnu Abbas r.a., tatkala Siti Hajar kehabisan air minum hingga tidak bisa menyusui Nabi Ismail, beliau mencari air ke sana ke mari sambil lari-lari kecil (Sa’i) antara bukit Safa dan Marwah sebanyak 7 kali. Tiba-tiba Allah mengutus malaikat Jibril membuat mata air Zam Zam. Siti Hajar dan Nabi Ismail memperoleh sumber kehidupan.
Lembah yang dulunya gersang itu kini mempunyai persediaan air yang melimpah-limpah. Datanglah manusia dari berbagai pelosok terutama para pedagang ke tempat Siti Hajar dan Nabi Ismail untuk membeli air. Rezeki datang dari berbagai penjuru, dan makmurlah tempat sekitarnya. Akhirnya lembah itu hingga saat ini terkenal dengan kota Mekkah, sebuah kota yang aman dan makmur, berkat do’a Nabi Ibrahim dan kecakapan Siti Hajar dalam mengelola kota dan masyarakat.
Dalam kitab Misykatul Anwar disebutkan, Nabi Ibrahim memiliki kekayaan 1000 ekor domba, 300 lembu, dan 100 ekor unta. Riwayat lain mengatakan, kekayaan Nabi Ibrahim mencapai 12.000 ekor ternak, suatu jumlah yang menurut orang di zamannya tergolong miliuner. Ketika pada suatu hari, Ibrahim ditanya oleh seseorang “milik siapa ternak sebanyak ini?” maka dijawabnya: “Kepunyaan Allah, tapi kini masih milikku. Sewaktu-waktu bila Allah menghendaki, aku serahkan semuanya. Jangankan cuma ternak, bila Allah meminta anak kesayanganku Ismail, niscaya akan aku serahkan juga.”
Ibnu Katsir dalam tafsir Al-Qur’anul ‘Adzim mengemukakan, pernyataan Nabi Ibrahim yang akan mengorbankan anaknya jika dikehendaki oleh Allah itulah yang kemudian dijadikan bahan ujian, yaitu Allah menguji iman dan taqwa Nabi Ibrahim melalui mimpinya yang haq, agar ia mengorbankan putranya yang kala itu masih berusia 7 tahun. Anak yang elok rupawan, sehat lagi cekatan ini, supaya dikorbankan dan disembelih dengan menggunakan tangannya sendiri.
“Ibrahim berkata : “Hai anakkku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu “maka fikirkanlah apa pendapatmu?” Ismail menjawab: “Wahai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS Ash-Shaffat: 102).
Ketika keduanya siap untuk melaksanakan perintah Allah, setan menggoda Ibrahim agar membatalkan niatnya mengurbankan Ismail. Nabi Ibrahim pun mengambil batu, lalu mengucapkan, “Bismillahi Allahu akbar,”, dan batu itu dilemparkan kepada setan. Kini seluruh jamaah haji mengikuti apa yang dulu dilakukan oleh Nabi Ibrahim dalam mengusir setan dengan melempar batu sambil mengatakan, “Bismillahi Allahu akbar”. Hal ini menjadi salah satu rangkaian ibadah haji yakni melempar jumrah.
Ketika sang ayah belum juga mengayunkan pisau di leher putranya, Ismail mengira ayahnya ragu, seraya ia melepaskan tali pengikat tangan dan kakinya, agar tidak muncul kesan dalam sejarah bahwa sang anak menurut untuk dibaringkan karena dipaksa. Ia meminta ayahnya mengayunkan pisau sambil berpaling, supaya tidak melihat wajahnya.
Nabi Ibrahim memantapkan niatnya. Nabi Ismail pasrah bulat-bulat, seperti ayahnya yang telah tawakkal. Sedetik setelah pisau nyaris digerakkan, tiba-tiba Allah berseru dengan firmannya, menyuruh menghentikan perbuatannya tidak usah diteruskan pengorbanan terhadap anaknya. Allah telah meridhoi kedua ayah dan anak memasrahkan tawakkal mereka. Sebagai imbalan keikhlasan mereka, Allah mencukupkan dengan penyembelihan seekor kambing sebagai korban, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an surat As-Saffat ayat 107-110:
“Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” “Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.” “Yaitu kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada Nabi Ibrahim.” “Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Menyaksikan tragedi penyembelihan yang tidak ada bandingannya dalam sejarah umat manusia itu, Malaikat Jibril kagum, seraya terlontar darinya suatu ungkapan “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Nabi Ibrahim menjawab “Laailaha illahu Allahu Akbar.” Yang kemudian disambung oleh Nabi Ismail “Allahu Akbar Walillahil Hamdu.”
Demikian sejarah Idul Adha yang bersumber dari pengorbanan keluarga Nabi Ibrahim a.s.